Catatan Isu Komunis : MENGAPA SUKARNO “DIBUNUH?” - Part 2

Monolog Oleh: Karyono Wibowo
Jakarta  (WWT) - Bulan Juni serasa bulannya Sukarno. *_Mengapa?_* Karena sosok yang kemudian menjadi proklamator dan presiden pertama RI ini lahir pada tanggal 6 Juni tahun 1901. Dasar Negara Pancasila yang digali Sukarno juga lahir pada 1 Juni tahun 1945. Dan pada bulan Juni pula, pemimpin kharismatik yang dijuluki Putra Sang Fajar ini telah pergi menghadap Sang Khalik, tepatnya pada tanggal 21 Juni 1970.

Hari ini kita mengenang kembali wafatnya _Putra Sang Fajar._ Tak terasa, sudah 50 tahun dia meninggalkan kita. Meninggalkan tanah air yang dicintainya. Jutaan rakyat bersimpuh lemas, seolah tak rela pemimpin yang dicintai pergi untuk selama-lamanya.

Tidak hanya rakyat Indonesia berduka, tapi sepertiga manusia di jagad raya tertunduk sedih melepas Sukarno seorang pemimpin yang selama hidupnya mengabdi untuk kemanusiaan,keadilan, dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia – Afrika dan bangsa-bangsa di dunia dari kolonialisme, imperialism dan kapitalisme.

Tragisnya, Sukarno wafat dalam status sebagai tahanan politik rezim Orde Baru. Cukup lama ia menjalani masa tahanan rumah. Selama menjalani masa tahanan, Bapak Marhaenisme yang memperjuangkan kaum marhaen itu mendapat perlakuan yang sangat kejam, perlakuan yang tidak berperikemanusiaan, perlakuan yang tidak setimpal dari jasa-jasanya untuk kemerdekaan tanah air dan untuk kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia-Afrika.

Sukarno tidak hanya diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda, tapi ia diasingkan juga oleh penguasa dinegerinya sendiri. Sukarno diinterogasi oleh oknum serdadu suruhan penguasa saat itu dalam seminggu sekali.

_Ooh… sungguh tragis !_ Presiden Pertama RI itu menjadi pesakitan dalam tahanan. Ia tidak mendapatkan perawatan selayaknya standar medis. Kesaksian Dr, Mahar Mardjono, Dr. Kartono Muhammad, dan para pelaku sejarah lainnya memberikan kesaksian yang sama dengan Dr. Mun'im, ahli forensic, bahwa penyebab utama kematian Sukarno karena pembiaran negara terhadap proklamator itu.

Seorang Sukarno yang sangat aktif tiba-tiba dikerangkeng di Paviliun Istana Bogor. Kemudian dipindahkan ke Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala) atas persetujuan presiden waktu itu, Soeharto, sehingga menjadi penyebab menurunnya kesehatannya.

"Pembunuh mematikan bukan hanya racun, tetapi pembiaran juga bisa sangat mematikan untuk manusia seaktif Bung Karno," kata Mun’im dalam wawancara dengan Tempo, 28 Juni 2013.

Singa podium itu akhirnya menyerah untuk memenuhi panggilan Sang Khalik. Pada Minggu pagi itu, ketegangan bercampur kesedihan bergumul di satu sudut Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta.

Ruangan sempit itu, penuh airmata. Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, juga Guruh dan handai tolan yang menyaksikan kondisi Sukarno tak kuasa menahan tangis. Bahkan Hatta sang proklamator, yang juga wakil presiden pertama RI tak kuasa membendung airmata. Hari itu adalah pertemuan terakhir Dwi Tunggal yang selama ini berpisah.

Di pembaringan, sang ayah yang lemah lunglai. Megawati mendekat, membisikkan kalimat syahadat. Sukarno berusaha mengikuti dengan perlahan, namun tak cukup kuat. Hanya satu kata yang sempat terucap lirih sebelum sang putra fajar menutup mata untuk selama-lamanya: "Allah.", Sebutan itulah yang mampu diucapkan sekaligus sebagai ucapan terakhir.

Tanggal 21 Juni 1970, pukul 07.07 pagi, Bung Karno wafat sebagai tahanan politik. Ia diperlakukan sebagai orang buangan, diasingkan di rumah tahanan oleh rezim Orde Baru yang mengambil-alih kekuasaan dengan cara kudeta merangkak. Pelan, namun pasti. Begitulah cara orde baru kaum kotra revolusi (kontrev) yang disokong nekolim untuk menyingkirkan sang penyambung lidah rakyat Indonesia.

*Tragedi Gestok Awal Mula Penggulingan Sukarno*

Dengan modal Surat Sakti _"SUPERSEMAR"_ yang lahir dari trageditragedi berdarah pada 30 September 1965 atau Gestok menurut istilah Sukarno yang menyeret Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai pihak yang dituding menjadi aktor utamanya, menjadi senjata bagi Soeharto untuk melemahkan pengaruh Sukarno
.
Bung Karno dituduh melindungi PKI karena keteguhannya mempertahankan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang diyakininya sebagai tiga kekuatan utama untuk mengganyang nekolim dan melawan kapitalisme di muka bumi.
Singgasana Sukarno pun mulai digoyang. Daaaan akhirnya Sukarno jatuh dari singgasananya digantikan Suharto yang ditetapkan sebagai pejabat presiden oleh MPRS.

Ditetapkannya Supersemar sebagai Tap MPRS menipiskan kekuasaan Sukarno. Dengan demikian, Supersemar yang semula “hanya” surat perintah justru menjadi bumerang bagi Bung

Sah atau tidak, tulis Eros Djarot dalam Misteri Supersemar (2006). Yang jelas, pengukuhan Supersemar menjadi Tap MPRS itu mencerminkan kepiawaian Soeharto untuk memainkan konstitusi demi mengejar kepentingan politiknya, tulis Eros dalam bukunya. (hlm. 50).

Dari situlah upaya pelemahan terhadap Bung Karno dimulai dan Soeharto amat lihai memainkannya dengan terukur dan sistematis.

Kecemasan Bung Karno akhirnya terjadi. Sidang Istimewa MPRS tanggal 7 Maret 1967 meresmikan Soeharto sebagai pejabat presiden. Pada Mei 1967, seperti dikutip dari Kontroversi Supersemar dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto (2007), Sukarno tidak boleh lagi memakai gelar presiden atau kepala negara (hlm. 108).

Selanjutnya Soeharto mengimbau kepada Sukarno untuk tidak lagi menempati Istana Negara sebelum tanggal 17 Agustus 1967. Bung Karno kini sadar bahwa eranya memang sudah berakhir. Ia bersiap angkat kaki dari istana, dan berpesan kepada anak-anaknya:

“Kalau meninggalkan istana tidak boleh boleh membawa apa-apa, kecuali buku-buku pelajaran, perhiasan sendiri, dan pakaian sendiri. Barang-barang lainnya seperti radio, televisi, dan lain-lain tidak boleh dibawa,” kata Bung Karno seperti dituliskan Maulwi Saelan dalam Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66 (2008: 265).

Saelan juga mencatat detik-detik bersejarah ini berdasarkan kesaksian Sogol Djauhari Abdul Muchid. Sogol adalah utusan Kolonel Bambang Widjanarko, salah seorang ajudan Bung Karno.

“Bung Karno meninggalkan Istana Negara sebelum tanggal 16 Agustus 1967, keluar hanya memakai celana puaman warna krem dan kaos oblong cap Cabe. Baju piyamanya disampirkan di pundak, memakai sandal cap Bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang kertas koran yang digulung agak besar, isinya Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih” (hlm. 267).

Kepada pengawalnya yang masih loyal, Sukarno meminta agar anak-anaknya dipulangkan ke rumah Fatmawati, istrinya yang kini menjadi mantan ibu negara. Sementara Bung Karno sendiri untuk sementara ditempatkan di salah satu paviliun di Istana Bogor.

Rupanya, Bung Karno tidak nyaman masih berada di lingkungan istana. Ia kemudian minta pindah. Permintaannya dikabulkan Soeharto. Bung Karno dipindahkan ke rumah peristirahatan yang berlokasi di Batutulis, Bogor.

“Kepindahannya itu rupanya didorong oleh keinginan untuk memperoleh lingkungan hidup yang lebih segar,” sebut Soeharto dalam buku otobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989: 244).

Namun, Sukarno juga tidak betah tinggal di rumah itu. Ia merasa tertekan karena hampir setiap hari diinterograsi. Sukarno kemudian menulis surat yang isinya meminta agar diizinkan kembali ke Jakarta. Surat tersebut dibawa salah seorang putri Bung Karno, Rachmawati, untuk disampaikan kepada Soeharto.

Permintaan itu dipenuhi. Kabarnya, seperti diungkap Syamsu Hadi dalam Bung Karno dalam Pergulatan Pemikiran (1991), salah satu orang yang menganjurkan kepada Soeharto agar mengizinkan Bung Karno dipindah ke Jakarta adalah Mohammad Hatta. Wakil Presiden pertama RI ini meminta agar Sukarno dipindahkan ke Wisma Yaso (hlm. 24).

Hatta tentunya punya pertimbangan matang terkait permintaan itu. Wisma Yaso adalah rumah yang dibangun Sukarno untuk salah satu istrinya, Ratna Sari Dewi. Dengan ditempatkan di Wisma Yaso, Hatta berharap Bung Karno bisa mendapatkan ketenangan seperti di rumah sendiri.

Pada 10 Desember 1967, Soeharto memerintahkan agar Bung Karno dipindahkan ke Wisma Yaso. Namun, selama ditahan di rumah itu, Bung Karno dilarang berhubungan dengan dunia luar dan dijaga ketat. Bahkan, keluarga dan kerabatnya sangat sulit untuk bertemu.

*Akhir Miris Bung Karno*

Menurut Wimanjaya K. Liotohe dalam Prima Duka: Pembantaian Manusia Terbesar Abad Ini (1997), sejak pertengahan 1969, seluruh kunjungan keluarga dilarang dengan alasan Bung Karno telah resmi berstatus tahanan dan sedang dalam proses pemeriksaan mengenai keterlibatannya dalam peristiwa G30S (hlm. 46).

Seminggu sekali, datang seorang perwira yang ditugaskan menginterograsi Bung Karno sepanjang hari. Tak hanya itu, penjagaan pun diperketat yang membuat geraknya semakin terbatas. Situasi seperti ini membuat Bung Karno tambah depresi. Ia bahkan mulai sering meracau, berbicara sendiri. Kesehatannya pun kian menurun.

Pada 16 Juni 1970 malam, Bung Karno tak sadarkan diri dan nyaris sekarat. Ia segera dilarikan ke RSPAD Gatot Soebroto. Di rumah sakit, Sukarno ditempatkan di sebuah kamar dengan penjagaan berlapis.

Hanya beberapa hari Bung Karno sanggup bertahan. Tanggal 21 Juni 1970 pagi, pemimpin besar revolusi itu menghembuskan napas penghabisan dalam status sebagai tahanan politik Orde Baru.
Begitukah cara Soeharto mematikan Sukarno?

Simak pendapat dokter pribadi Bung Karno, Mahar Mardjono, yang terungkap dalam majalah D&R edisi 26 September 1998:

“Jadi, kalau ada yang mengatakan Bung Karno dibiarkan meninggal, saya tidak terlalu menyalahkan pendapat tersebut [...] Kalau ada yang mengatakan Bung Karno dibunuh pelan-pelan, ya yang mengurungnya itu yang melakukannya.”

Sukarno masih tampak tegar pada awal-awal masa pengasingannya di Wisma Yaso. Kepada Sidarto Danusubroto, ajudan yang tetap setia menemaninya selama menjadi tahanan rumah, Bung Karno menegaskan bahwa dirinya bisa dikucilkan, dijauhkan dari keluarga, bahkan ditahan, dan lama-lama akan mati sendiri.

Sukarno Dibunuh Berkali-kali
DI MAKASSAR, Sukarno mengalami dua kali upaya pembunuhan. Sebelum peristiwa penggranatan di Jalan Cenderawasih, dia menjadi sasaran mortir pada 1960. Kejadian itu dikenal dengan Peristiwa Mandai. “Masih dua kali lagi upaya pembunuhan terhadapku. Keduanya di Makassar,” kata Sukarno dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesiakarya Cindy Adams.
Setiba di lapangan terbang Mandai, rombongan melanjutkan perjalanan menuju kota Makassar dengan pengawalan lengkap.

“Dalam perjalanan menuju kota Makassar ini,” kata Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967, “rombongan Presiden Sukarno ditembaki oleh gerombolan dengan mortir, tetapi tidak mengenai sasaran.”

Rombongan kacau. Apalagi jip CPM (Corps Polisi Militer) pengawal yang ada di depan mobil Bung Karno mogok. Mayor Sudarto Perang, mendorong mobil itu ke pinggir. Setelah jip CPM itu diganti dengan jip polisi, rombongan melanjutkan perjalanan menuju kota Makassar. Sesampainya di perbatasan kota, Sukarno dijemput dengan jip kap terbuka, karena akan disambut rakyat di kanan-kiri jalan. “Waktu Bung Karno mengadakan rapat raksasa,” kata Mangil, “para duta besar mengatakan sungguh Bung Karno itu hebat. Habis ditembaki begitu gencar, tetapi tetap tenang dan malahan berani naik kendaraan terbuka. Bagaimana kalau di antara rakyat itu ada pengacaunya dan menembaki Bung Karno?”

Menurut Maulwi Saelan, wakil komandan Tjakrabirawa, pelaku penembakan mortir adalah gerombolan Kahar Mudzakkar, pemimpin DI/TII Sulawesi Selatan. Sebelumnya, Kahar adalah pemimpin Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Pada 1951, Kahar mengajukan tuntutan kepada Kolonel Kawilarang, Panglima Tentara dan Teritorium VII/Wirabuana agar KGSS dibentuk menjadi brigade sendiri yaitu Brigade XVI. Kahar marah karena permintaannya itu ditolak.

Menurut Anhar Gonggong dalam Abdul Qahhar Mudzakkar Dari Patriot Hingga Pemberontak, mereka beranggapan pemerintah Republik Indonesia pimpinan Presiden Sukarno telah menginjak-injak siri’ –tidak hanya bermakna malu yang dalam, tetapi juga mempertahankan harga diri dengan mempertaruhkan nyawa– mereka, “karena menolak diri mereka untuk menjadi anggota APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) dan membentuk suatu kesatuan tersendiri dengan nama pahlawan kebanggan mereka, Hasanuddin.”

Pelaku peristiwa Mandai tidak tertangkap. Namun, perlawanan Kahar dan pengikutnya berakhir setelah dia ditembak mati pada 3 Februari 1965.

Dengan dua peristiwa di Makassar, Sukarno telah lima kali menjadi sasaran pembunuhan. “Peristiwa keenam kalinya terjadi ketika suatu hari Bung Karno dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta dalam satu iring-iringan. Bung Karno melihat sendiri seorang laki-laki dengan gerak-gerik aneh seperti maling,” kata Maulwi.

“Saat berada dalam iring-iringan, aku melihat seorang laki-laki dengan gerak gerik aneh, sembunyi-sembunyi,” kata Sukarno. “Ketika kami lewat, kulihat dia berancang-ancang melemparkan granat. Matanya menangkap mataku, dan ada sesuatu kekuatan yang menghentikan maksudnya. Dalam waktu sepersekian detik itu mobilku sudah berada di luar batas pelemparan.”

Menurut Kadjat Adra’i dalam Suka Duka Fatmawati Sukarno, peristiwa lain yang mengarah ke upaya pembunuhan Sukarno adalah Peristiwa Rajamandala. Kisahnya bermula dari kunjungan balasan Ketua Presidium Tertinggi Uni Soviet, Kliment Yefremovich Voroshilov. Selain ke Surabaya dan Bali, Voroshilov juga berkunjung ke Bandung ditemani Presiden Sukarno. Dari Bandung perjalanan dilanjutkan ke Jakarta dengan mobil. Rute perjalanan ditetapkan melalui kawasan tetirah Puncak yang sejuk, mampir di Kebun Raya Cibodas, Istana Cipanas, dan Istana Bogor.

Sehari sebelum rombongan berangkat, seorang Letnan I CPM dengan jip Willys melalui rute tersebut, sebuah jembatan panjang yang dikenal Jembatan Rajamandala. Di kedua ujung jembatan dilihatnya ada penjagaan satuan Polisi Militer yang membuatnya bertanya-tanya, “Mengapa ada penjagaan?” Sesampai di Jakarta, dia langsung ke markas CPM Jl. Merdeka Timur untuk menanyakan hal itu. Ternyata tidak pernah ada perintah menempatkan satuan CPM di Jembatan Rajamandala. “Jadi satuan itu pasti Dl/TII,” tulis Kadjat Adra’i. “Dia kemudian ingat, tanda kesatuan yang dikenakan gugus tugas gadungan itu tidak sebagaimana mestinya.”

“Karena pembersihan lewat cara konvensional yaitu melalui serangan darat, AURI dikontak. Dua pesawat Mustang P51 dikerahkan, kemudian kawasan sekitar Rajamandala disapu bersih,” Kadjat Adra’i menambahkan. “Sewaktu rombongan Voroshilov lewat, tidak nampak tanda-tanda bahwa beberapa jam sebelumnya terjadi kontak senjata di sana.”

Dalam almanak upaya pembunuhan terhadap tokoh, Terrorism in the 20th Century, Jay Robert Nash menyebutkan Peristiwa Rajamandala itu terjadi pada 25 Mei 1957, “Kliment Yefremovich Voroshilov, ketua presidium Rusia, menjadi target dari upaya pembunuhan yang gagal di Indonesia.”

Setidaknya sudah tujuh kali Sukarno akan dibunuh. Namun, dia selalu selamat. Sukarno pun meyakini, “selama hidupku ada Kekuatan Maha Tinggi yang mengawal, memimpin, dan melindungiku.

Mungkin di satu waktu salah satu dari usaha pembunuhan ini akan berhasil dan mereka berhasil membunuh Sukarno. Kalaupun saatnya datang, ini terjadi karena Dia menghendakinya. Aku tidak gentar.”

*PESAN BUNG KARNO*
_“Tapi catat ya, To,” kata Bung Karno seraya menatap Sidarto den gan raut muka yang tegas, “Jiwa, ide, ideologi, dan semangat tidak akan dapat dibunuh!”_

✓ *Penulis* adalah pemerhati sosial/ Direktur Eksekutif IPI

✓ *Disampaikan* saat Haul Bung Karno ke 50 DPC PDI Perjuangan Jakarta Timur, 20 Juni 2020.

Sumber : Sate Jawa
Foto : Istimewa
Share:

Translate

Pola Pikir

Ada Penghianat Bangsa Dalam Pilpres 2024

Pahlawan Jalan Maju, Penghianat Jalan Mundur Jakarta ( Warta WA Terkini - No Gossip ) - Dari mulai isue Politik Dinasti hingga isue Penghi...

Arsip Blog