Politik Identitas Hanya Laku Bagi Orang Pengidap NPD

Mode : Gaya Hidup zaman Now Wanita Arab 
Jakarta (Warta WA Terkini - No Gossip) - Apa yang membedakan kampanye politik indentitas dengan kampanye politik pada umumnya? 

Politik Indentitas lebih menonjolkan indentitasnya, ketimbang programnya. Sebuah indentitas yang mereka anggap dan bungkus, seolah tidak ada cela sama sekali. Mereka mendikotomikan baik dan buruk, sementara mengklaim mereka yang berada pada posisi baik dan paling benar sendiri.

Dan terbukti, program²nya mayoritas zonk, kalau tidak mau disebut zonk semua.

Koq bisa menang? 

Hal ini, karena saat itu mereka memiliki indentitas yang bisa jadi barang dagangan politik yang layak jual, selain itu indentitas tersebut lagi-lagi saat itu, memang legitimate, dengan esensi nilai-nilai yang memiliki kandungan sebagai "orang baik".

Jadi siapa yang tidak ingin dibilang orang baik, hanya dengan menyandang indentitas yang tidak perlu mereka "beli mahal", hanya bermodalkan pakaian saja.

Sementara saat ini, ada beberapa psikologi efek, yang dapat kita lihat dengan kasat mata. Mengapa "Politik Indentitas" ditinggalkan oleh kaum yang mulai waras.
Mode : Indentitas Wanita Timur Tengah
Pertama, penggunaan "Wajib Jilbab" pada kaum wanitanya, yang "Mengindentitaskan Mereka" termasuk dalam anggota kelompok orang-orang baik, dan paling benar sendiri.

Yang kini di negara asalnya saja, kewajiban itu sudah dihapuskan, dan bahkan kalau Anda ke negara asalnya tersebut, Anda akan melihat wanita-wanita cantik nan seksi, tanpa Jilbab. Seperti foto "Mode : Gaya Hidup zaman Now Wanita Arab" yang ternyata adalah foto seorang anak raja Arab.


Kedua, Habib sebagai panutan mereka yang konon keturunan Nabi. Yang saat kampanye silam, para Habib ikut seolah-olah bak Malaikat merestui para tokoh "Politik Indentitas" tersebut untuk maju.

Sementara, baru-baru ini sudah dibuktikan bahwa para Habib tersebut tidak ada "Eksistensi Indentitasnya", jangankan mereka Turunan Nabi, turunan Arab saja pun mereka tidak.

Saya pikir dari dua variabel yang kasat mata ini saja, Anda sudah paham khan ya, mengapa politik indentitas ditinggalkan, oleh orang-orang yang mulai waras.

Kalau pun masih ada orang-orang yang masih mau memainkan politik indentitas saat Pemilu 2024, mungkin dapat dikatakan...

Mungkin secara psikologi, mereka para pemain dan pemilihnya adalah orang-orang pengidap NPD akut, yang selalu melihat dirinya sebagai orang yang paling baik dan paling benar sendiri.

Secara psikologis bagi mereka, "Indentitas Mereka" (pengidap NPD akut) lebih penting dari perilaku orang lain yang manapun.

Agar masyarakat kita yang mengidap NPD Akut tersebut di atas dapat disembuhkan.

Ayo bersama-sama mensosialisasikan, bahwa 2 variabel di atas adalah pembodohan masal. Poin 1. Jilbab bukan Ketentuan Agama yangmana poin 2 (Menggunakan Habib untuk melegitimasi Penjajahan adalah halal) merupakan peninggalan Belanda, untuk melanggengkan Kekuasaan Penjajahannya saat itu.


Ohiya variabel lain, yang dulu lagi-lagi untuk membedakan (Indentitas) dan menggusur Agama Lokal, seperti mensyirikan masyarakat Nusantara yang membakar Menyan (Bukhur dalam bahasa Arab).

Sesungguhnya ternyata membakar Menyan/Bukhur justru disunnahkan oleh Nabi. Terbukti, lagi-lagi Habib diluar jalur Nabi. Dan masih banyak lagi, yang dikarang oleh mereka.

Semoga Pemilu 2024, para pengidap NPD Akut tersebut di atas makin berkurang lagi, syukur-syukur hilang sama sekali dari Tanah Impian Nusantara ini. (Erwin Wildan)

Disclaimer
Walaupun pakaian tersebut di atas merupakan bahasan dari sisi indentitas. Penulis tidak kontra pada orang-orang yang hingga kini masih menggunakan pakaian ala-ala Timur Tengah, yang tidak berpolitik indentitas, karena penulis melihat pakaian tersebut hanyalah dari sisi mode. Ibarat seorang pengguna tas Hermes yang bukan untuk menunjukan indentitasnya.

Foto : Istimewa

wartawaterkini - Warta WA Terkini - No Gossip

IG : @wartawaterkini
Sumber : Sate Jawa - but no Gossip
Photo : Special
Share:

Nilai Pergaulan Saat Ini Beda Dengan Nilai Pergaulan di Tahun 60an

Jakarta (Warta WA Terkini - No Gossip) - Ayah saya mengeluh melihat nilai-nilai Pergaulan pada saat ini.

Karena nilai-nilai pergaulan sekarang ini sudah mengikuti filosofi ilmu politik, yang ditelan mentah² oleh para Dosen Pertamanya, yang berkelanjutan hingga saat ini.

Filosofi Ilmu Politik yang dimaksud adalah "Tidak Ada Teman yang Abadi, yang Ada Kepentingan yang Abadi"

Menurut Ayah saya, Pepatah Pergaulan tahun 60an adalah "Taburlah Kebaikan Sebanyak-banyaknya, Engkau Akan Menuai Kebaikan Sebanyak-banyaknya pula."

Jadi dahulu, orang berlomba berbuat baik, tidak ingin, jangankan bermusuhan, friksi saja tidak mau. Sehingga ada pepatah "Seribu Teman Terlalu Sedikit, Satu Musuh Terlalu Banyak"

Memotret dua pepatah di atas, dapat tergambarkan bagaimana pergaulan dengan asas "Gotong Royong" itu mendarah daging dalam pergaulan di Nusantara Tanah Impian ini, saat itu.

Tapi kini sudah menjadi minoritas, kalau tidak mau disebut nilai-nilai tersebut hampir punah.

Kalau Sekarang, Pepatahnya "Taburlah Kebaikan Sebanyak-banyaknya, Engkau Akan Menuai Malapetaka Sebanyak-banyaknya pula."

Karena manusia sekarang menggunakan filosofi politik yang mengedepankan asas manfaat, dimana ada orang yang baik hati, maka mereka pantas dimanfaatkan.

Entah Agama mana yang memperbolehkan, atau menganjurkan Asas Manfaat ini. Buktinya semua orang menganggap hal ini sekarang wajar-wajar saja.

Nah, kalau dulu banyak sekali orang yang ingin menolong tanpa pamrih (saat Pelajaran Budi Pekerti masih ada sebagai mata pelajaran), Oh iya nyimpang sedikit, dan saat pelajaran Budi Pekerti diganti dengan pelajaran Agama, mulailah dikenal Tawuran Remaja antar Sekolah. Apakah ini sebuah kebetulan, atau sebuah revolusi pemahaman antara Mencintai Diri Sendiri (Budi Pekerti) vs Egosentris...

Singkat mengenai pemahaman "Mencintai Diri Sendiri" dalam pelaksanaan "Budi Pekerti" adalah untuk menumbuhkan "Empati pada Diri Sendiri" yang selalu berangkat dari diri sendiri. Contoh gampangnya "Kalau Tidak Mau Dicubit (Konteks Mencintai Diri Sendiri), Jangan Mencubit"

Pasca dihapusnya pelajaran "Budi Pekerti", nilai² Pancasila memang turun drastis, walaupun awalnya bergradasi, sehingga tidak terasa. Tapi seperti biasanya karakter Pancasila yang senkretis persis seperti kultur orang Nusantara pada umumnya, melawannya belakangan.

Nah kinilah saatnya...

Ya roda berputar, dari ramalan Sabdo Palon dan Naya Genggong (https://perpustakaan.tanahimpian.web.id/2012/01/sabdo-palon-dan-naya-genggong.html) saat pandemi adalah saat turunnya atau dilawannya kezaliman tersebut di Nusantara Tanah Impian ini.

Pergeseran tersebut akan dapat Anda saksikan dari sekarang hingga 2024 nanti, bagaimana komunitas² Bela Negara akan sebagai Garda Terdepan. Bhineka Tunggal Ika. (Erwin Wildan)

wartawaterkini - Warta WA Terkini - No Gossip

IG : @wartawaterkini
Sumber : Sate Jawa - but no Gossip
Photo : Istimewa
Share:

Translate

Pola Pikir

Ada Penghianat Bangsa Dalam Pilpres 2024

Pahlawan Jalan Maju, Penghianat Jalan Mundur Jakarta ( Warta WA Terkini - No Gossip ) - Dari mulai isue Politik Dinasti hingga isue Penghi...

Arsip Blog