Memahami pemimpin dalam kaca mata APBN paling sederhana

Ilustrasi 1;
Sebagai pekerja freelance Pak Dulah memiliki penghasilan rata2 sebulan Rp.800rb. Dengan penghasilan sebesar itu pak Dulah harus menghidupi rumah tangganya dengan satu anak.  Pengeluaran sebulan mencapai 3 juta, yang terdiri dari biaya transport sebesar 500rb., biaya makan 1,8 juta, biaya sewa rumah 700rb. Artinya terjadi defisit sebesar Rp. 2,2 juta.  Lantas bagaimana Pak Dulah bisa bertahan hidup dengan biaya lebih besar dari pendapatan tetapnya ?

Perhatikan solusi yang dilakukannya. Pertama dia membeli motor secara kredit, dengan uang muka sebesar Rp.300rb. Cicilan sebesar 800rb. sebulan untuk jangka waktu 3 tahun. Motor itu ia gunakan untuk pergi bekerja, sehingga ada penghematan biaya transport sebesar 500rb. per bulan.  Sepulang bekerja, motor itu ia gunakan untuk ngojek dengan penghasilan bersih rata2 sebulan Rp. 1,5 jt.  Kemudian dibantu istrinya, dia juga membuka warung depan rumah, melalui kredit dari koperasi sebesar Rp. 3 juta, dengan cicilan sebesar Rp. 300rb. sebulan. Dari usaha warung rumahan itu , ia memperoleh pendapatan rata rata sebulan Rp. 1,5 juta.  Dengan cara ini, total pengeluaran naik menjadi sebesar 4,1 juta, tapi total penerimaan juga naik sebesar 4,3 juta., sehingga terdapat selisih surplus sebesar Rp. 200rb. Selisih 200rb. ini disebut dengan RUANG FISKAL bagi keluaga pak Dulah.

Jumlah ruang fiskal tersebut bebas digunakan untuk belanja apa saja. Tapi Pak Dulah memilih tidak menggunakannya untuk konsumsi makan2 atau piknik. Tapi akan digunakan untuk investasi pendidikan anak, dan sebagian digunakan meningkatkan modal bagi usaha rumahannya agar semakin besar peluang menghasilkan penerimaan.

Ilustrasi 2 :
Ada lagi cerita. Pak Somad seorang Manajer swasta yang memiliki total harta (rumah dan kendaraan) sebesar 300 juta. Gajinya sebulan Rp. 10.000.000. Tapi pengeluaran untuk belanja bulanan sebesar Rp. 13.000.000. Artinya, terjadi defisit sebesar Rp. 3 juta. Somad memutuskan bahwa untuk menutup defisit tersebut, mereka bisa berhutang, karena defisit sebesar 3 juta tsb. hanya senilai 1% dari total hartanya. Hutang dgn jumlah tsb. tidak akan menyisakan ruang fiskal apapun, karena hanya habis untuk membiayai belanja rutin. Akibatnya, yang terjadi dari tahun ke tahun, hutang terus bertambah karena gali lubang tutup lubang.  Dan akhirnya rasio hutang terhadap harta mencapai 80%.  Harta terpaksa dijual untuk bayar hutang. Mengapa sampai begitu? karena hutang yg dibuat selama ini hanya habis untuk belanja rutin. Tidak tersisa ruang fiskal yg cukup untuk investasi yang bisa meningkatkan pendapatan. Apa yang terjadi pada Somad, juga terjadi pada Bolivia, venezuela, Italia, dan Yunani, dimana defisit ditutupi dari hutang namun ruang fiskal sangat kecil sekali.

Sebetulnya yang terjadi di Era SBY-Budiono hampir sama. Dgn ilustrasi 2. Ruang fiskal sangat kecil, sehingga tidak cukup untuk membangun jalan, waduk, bandara, pelabuhan, dan investasi produktif lainnya.  Kebijakan SBY pd saat itu lbh fokus pada peningkatan daya beli. Artinya, belanja rutin untuk program2 bantuan tunai dan subsidi terus digelontorkan demi mempertahankan daya beli masyarakat.  Dan ketika terjadi krisis global 2011 yg menyebabkan penerimaan negara turun, maka terjadilah defisit.  Defisit ini lalu ditutup dengan hutang.  Meskipun rasio defisit tsb. masih dibawah 3% dari PDB, namun tidak ada ruang fiskal untuk ekspansi, sementara hutang masa lalu juga harus terus di bayar lho.

Tidak adanya ruang fiskal berarti tidak terjadi investasi pada infrastruktur, sehingga pertumbuhan produktivitas menjadi lambat.  Implikasi yg lbh parah adalah Indonesia dapat terjebak dalam hutang krn tidak ada peningkatan PDB secara signifikan dr sisi produksi, seperti yang dicontohkan pada keluarga Somad diatas.

Kebijakan anggaran diatas lalu diubah pada Era JKW-JK.  Ruang fiskal diperlebar dengan menambah hutang, mengoptimalkan penerimaan negara, dan menurunkan pengeluaran rutin pemerintah, terutama pada subsidi BBM dan Listrik.  Mengapa demikian? karena JKW ingin menggeser paradigma dari ekonomi konsumtif menjadi ekonomi produktif.  Pilihan kebijakan ini sungguh tidak populer dimata pemilih saat Pilpres 2019 nanti .  Padahal rasio hutang kita terhadap PDB tercatat sebesar 34%.  Rasio ini masih jauh dari yang disyaratkan dalam Undang-undang Keuangan Negara yakni sebesar 60%.  Publikasi yang diterbitkan CIA ttg ranking negara2 yg paling parah tingkat hutangnya, menempatkan Indonesia pada urutan 149.  Artinya, penggunaan hutang Indonesia sebenarnya masih berada di level yang sangat aman, baik secara mandatory, maupun ukuran yg berlaku secara internasional.  Apa yang dilakukan oleh JKW kurang lebih sama dengan contoh pada keluarga Dulah. Kuncinya, bukan seberapa besar hutang atau rasio hutang tapi sejauh mana hutang itu benar2 digunakan untuk hal-hal produktif (infrastruktur), bukan untuk konsumsi.

Infrastruktur, pentingkah itu?

Sekali lagi, jika hanya mengejar elektabilitas untuk pemilu 2019, maka JKW tinggal. mereplikasi kebijakan populis yang dibuat SBY saja.  Rakyat tinggal dimanjakan dengan berbagai program subsidi. Kalaupun harus bangun infrastruktur, bangun saja di Jawa yang jumlah pemilihnya banyak, sementara daerah2 terluar dan terpencil biar saja melambat sesuai keadaannya .  Tapi ini masalah pilihan kebijakan. Ibarat Dokter, yang lebih memilih menghilangkan sumber penyakit dari pada sekedar menghilangkan symptom-nya. Jika asam lambung Anda sering kumat, maka yang harus disembuhkan adalah lambungnya, bukan sekedar menghilangkan nyerinya dengan memperbanyak obat analgesik (subsidi).  Jika ingin sembuh tuntas, Anda terpaksa harus merasakan "ketidaknyamanan" krn hrs di endoskopi dan hrs disiplin berpantang makanan “lezat” untuk jangka waktu tertentu.

Subsidi BBM seperti itu.  Disatu sisi kita ingin BBM itu murah, tapi kita masih menghabiskan waktu yang lebih lama dijalanan karena jumlah penduduk dan kendaraan sudah tidak seimbang dengan ruas jalan. Malaysia saja yang jumlah penduduknya hanya 32 juta sudah memiliki 4.000 km jalan Tol, sementara kita dengan penduduk 250 juta, sejak merdeka sampai era SBY, jumlah jalan tol kita masih dibawah 1.000 km.  Infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan bandara itu bisa kita analogikan sebagai pembuluh darah dalam tubuh kita yang tugasnya mendistribusikan oksigen dan nutrisi keseluruh bagian tubuh. Bisa dibayangkan apa jadinya pada jantung, otak, dan bagian vital lainnya jika sirkulasi darah itu mampet karena semakin banyaknya timbunan makanan?.  Rasanya akan sia-sia jika kita bicara tentang pertumbuhan ekonomi, tapi pergerakan manusia dan barang-barang produksi masih mengandalkan jalur transportasi yang dibangun Belanda .  Sirkulasi faktor produksi mampet karena masih sering ketemu lampu merah, pasar tumpah, apalagi jika ada hajatan penduduk yang memakan bahu jalan.

Belum lagi jika kita bicara dari sisi suplay.  Kita ingin BBM itu murah, tapi dilain waktu masih sering terjadi kelangkaan BBM di SPBU karena kilang minyak kita masih sedikit.  Kapasitas kilang minyak kita, yg terakhir dibangun 20 tahun lalu itu, hanya mampu berproduksi 800 ribu barel per hari.  Sementara tingkat konsumsi mencapai 1,3 juta barel per hari, dan akan meningkat menjadi 2,2 juta barel pada 5 tahun ke depan, seiring dengan ledakan jumlah penduduk dan kendaraan.  Mau tdk mau, saat ini kita terpaksa impor BBM, dan jadilah kita sebagai negara importir BBM mentah terbesar di dunia.  Sialnya lagi, proses impor itu menggerus keuangan negara sebesar 250 Milyar per hari akibat ulah mafia Migas di Petral.  Tidak heran jika Petral itu kemudian dibubarkan oleh JKW.

Hal serupa juga terjadi di sektor Kelistrikan. Di satu sisi kita ingin tarif listrik disubsidi tapi kita masih sering mengalami mati lampu karena jumlah pembangkit listrik kita masih sangat minim.  Tambahan kebutuhan listrik kita sebanyak 5.000 MW per tahun, namun baru terpenuhi 60%-70% saja di era SBY.  Belum lagi jika kita ngomong tentang rasio elektrifikasi, yang saat itu hanya sebesar 80%.  Ini berarti sejak kita merdeka, masih ada 20% atau 50 juta penduduk Indonesia yang belum menikmati listrik.  Pemerintah bukannya enggan untuk memberi subsidi, tapi memang ruang fiskal yg disediakan SBY saat pergantian kepemimpinan hanya sebesar 180 T, sedangkan kebutuhan kita besar. Oleh sebab itu, subsidi untuk pelanggan 900 VA ke atas terpaksa dialihkan untuk mengatasi masalah2 kelistrikan tsb.  Adapun untuk pelanggan yg tidak mampu (450 VA), subsidinya tidak dicabut, bahkan jumlahnya ditambah, dari 23 juta KK menjadi 27 juta KK. Skema subsidi di Era JKW itu bukan pada barang tapi langsung kepada yang berhak, melalui program2 bantuan sosial seperti KIS, KIP, PKH, dan lainnya.  .

Lain lagi dgn masalah "perut".  Di Era SBY, kita hanya memiliki 206 bendungan besar, ratusan bendungan kecil dan ribuan embung. Jumlah tsb. baru mampu mencukupi 11% kebutuhan irigasi pertanian.  Artinya, 89% irigasi pertanian kita masih tergantung dari kondisi cuaca.  Sehingga rata-rata masa panen hanya 1,4 kali dalam setahun. Jika membandingkan jumlah perut yg terus meningkat setiap tahun , maka bisa dibayangkan ancaman krisis pangan, energi dan air pada 10 tahun ke depan.  So agar stok pangan tetap terjaga, ya kita terpaksa masih hrs impor pangan, apalagi jika harga dalam negeri mengalami kenaikan. Ironis ga sih untuk sebuah negara yang dikenal sebagai negara agraris? .

Dengan berbagai permasalahan diatas, diperlukan keberanian untuk memilih kebijakan yg tidak populis, meski risikonya akan menurunkan elektabilitas seorg pemimpin dimata pemilihnya.  Saya sih cuma ingin menstate bahwa yg namanya pencitraan seorang pemimpin itu bukanlah terlihat pada seringnya dia blusukan, tapi pada pilihan kebijakan (APBN) yg dia ambil.  Pemimpin yg fokus pada pesona dan citra diri, pasti akan memilih “main aman” dgn kebijakan populisnya, meski dalam jangka panjang,  rakyatnya terancam krisis yg berkelanjutan...... Seperti kata James Freeman, "Politikus itu hanya akan memikirkan pemilu berikutnya, sedangkan Negarawan akan memikirkan generasi selanjutnya".
Referensi :
https://catatanpringadi.com/ruang-fiskal-fiscal-space/

Sumber : Sate Jawa
Foto
Share:

Translate

Pola Pikir

Ada Penghianat Bangsa Dalam Pilpres 2024

Pahlawan Jalan Maju, Penghianat Jalan Mundur Jakarta ( Warta WA Terkini - No Gossip ) - Dari mulai isue Politik Dinasti hingga isue Penghi...

Arsip Blog