Oasis di tengah Panasnya Intoleransi
Silakan dibaca sangat bagus, jangan lupa dishare
Jurnalindonesia.id
– Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri ibarat oasis di tengah panasnya
intoleransi beragama di negeri ini. Wejangan tentang wajah Islam yang
moderat sekaligus bersahabat mengisi ruang yang ditinggalkan mantan
presiden Abdurahman Wahid.
Dalam kasus dugaan
penistaan agama yang dituduhkan kepada Gubernur DKI Jakarta nonaktif
Basuki Tjahaja Purnama, misalnya, ia ragu akan adanya unsur penistaan
dalam pidato Basuki yang menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51.
“Jika
dianggap penistaan, pemeluk Islam juga kena karena banyak yang
menistakan agama lain,” ujar pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul
Thalibin, Keluruhan Leteh, Rembang, Jawa Tengah, ini.
Pria
72 tahun yang akrab disapa Gus Mus ini mengatakan kasus Ahok juga
membuka fakta organisasi kemasyarakatan intoleransi kian mendapat ruang
di Indonesia, yang dilanda euforia kebebasan. Di lain sisi, rakyat
Indonesia belum siap menghadapi keberagaman.
“Sehingga,
berbeda sedikit saja langsung ngamuk,” kata putra Kiai Haji Bisri
Mustofa, ahli tafsir sekaligus pendiri Pesantren Raudlatut Thalibin ini.
Kamis
malam pekan lalu, Gus Mus menerima Rofiuddin dari Tempo di rumahnya
yang sederhana di Leteh, Rembang, untuk sebuah wawancara khusus.
Wawancara berlangsung tiga jam secara lesehan di ruang tamunya, ditemani
kopi dan air putih, tanpa rokok.
Tak ada
barang mewah di ruang tamu berukuran 5 x 12 meter itu. Hanya ada satu
set kursi rotan yang sudah usang, sofa cokelat, beberapa lukisan
kaligrafi tergantung di dinding, dan dua lemari kayu jati penuh buku.
Mantan
rais ‘am Nahdlatul Ulama itu memaparkan pelbagai hal, dari gelombang
bah hoax, kritiknya terhadap Majelis Ulama Indonesia, hingga krisis
toleransi.
“Orang-orang moderat harus tampil,” ucapnya.
Beberapa
kali tanya-jawab tertunda karena sang kiai menerima tamu yang datang
silih berganti. Dengan sabar, Gus Mus menemui para tamunya. Sementara
itu, ayat-ayat suci tak putus berkumandang dari ratusan santri di aula
pesantren yang lebih dikenal dengan Pondok Leteh itu.
Mengapa masyarakat Indonesia semakin tidak toleran?
Kita
sekian lama hidup terikat, kemudian bebas secara tiba-tiba. Booming
terjadi karena keran kebebasan itu dibuka mendadak. Ibaratnya, kita dulu
berada di dalam sangkar. Saat kandang terbuka, burung itu malah terbang
menabrak-nabrak tak keruan.
Apakah masyarakat tidak siap berdemokrasi?
Selama
ini rakyat Idonesia tak diajari menghargai perbedaan. Pada era Orde
Baru, semua petani harus menanam satu jenis padi, lalu mengecat semua
rumah dengan warna kuning.
Kebiasaan ini
membuat orang tak bisa berbeda, sehingga berbeda sedikit saja langsung
ngamuk. Padahal perbedaan itu syarat mutlak berdemokrasi.
Mereka yang dulu punya keinginan-keinginan tertentu tapi tidak muncul di permukaan, sekarang muncul dengan seenaknya. Mau ngomong apa saja dihalalkan demokrasi, sedangkan masyarakat belum terbiasa berbeda pendapat.
Sementara itu, ada orang yang menggunakan demokrasi untuk kepentingan melampiaskan apa yang diinginkan. Mereka bisa berdalih, “ini demokrasi, enggak bisa dilarang-larang.”
Dengan dalih yang sama, kelompok Islam radikal berkembang. Bagaimana mengatasinya?
Orang-orang
moderat harus tampil. Jangan diam saja. Pers harus menampilkan tokoh
berideologi moderat, jangan cuman memikirkan duit dan rating. Media
massa jangan pula menampilkan “aktor ustad”.
Sekarang banyak ustad dan ulama bikinan. Rakyat awam manthuk-manthuk(mengangguk-ngangguk) saja. Orang tidak pernah melihat rekam jejaknya, dia belajar agama dari kiai mana, dimana mondok-nya. Orang hanya melihat tampilan dan citranya.
Bila ustad semacam itu yang diberi panggung, pikiran orang akan diwarnai kata-katanya. Pers era sekarang seperti penyair di zaman jahiliyah, pembentuk opini. Dulu, Ahmad Shiddiq, Rais ‘Am Pengurus Besar NU 1984-1991, menyatakan wartawan termasuk zuama (pemimpin), karena mereka penentu opini.
Faktanya, kekuatan kelompok Islam berhasil mendesak kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama?
Unsur
penistaannya di mana? Jika tindak Basuki dianggap penistaan agama,
penganut Islam akan banyak yang kena, sebab orang Islam juga banyak
sekali yang menistakan agama lain.
Mereka
bisa dituntut balik dan bisa menimbulkan aksi saling tuntut. Jadi harus
dijelaskan letak unsur penistaannya dan jangan mau dibodohi. Saya
curiga, siapa yang pertama kali mencetuskan penistaan agama.
Apakah masifnya unjuk rasa pada 4 November dan 2 Desember lalu belum cukup menegaskan kemarahan umat Islam karena kasus itu?
Orang
sekian banyak itu ikut-ikutan ke Jakarta untuk apa? Mereka tak tahu
urusan, kok ikut datang saja. Katanya mencari ganjaran, merasa jihad
fisabilillah, membela agama. Membela agama dari apa? Engga jelas.
Apakah unjuk rasa tersebut tak jelas tujuannya?
Massa
itu sudah marah-marah, tapi belum tahu tentang penistaan agama. Ada
yang sengaja mengatur itu. Saya ibaratkan ada santri di-setting menjadi
kiai. Lalu kawan-kawannya menciumi tangannya dan diikuti jemaah lain.
Setelah mencium tangan, jemaah baru bertanya siapa sosok yang dihormati
tadi.
Contoh lain, ada orang yang bertariak
copet di pasar. Lalu, tanpa tabayyun (mencari tahu kebenaran), yang lain
langsung ikut menghajar tertuduh. Mereka tak berpikir bahwa Ahok sedang
mencalonkan diri menjadi gubernur dan butuh suara dari warga yang
mayoritas Islam. Kok, malah menjelek-jelekkan Islam?.
Menjelang aksi 2 Desember lalu, Anda menyebut shalat Jumat di jalanan sebagai bid’ah. Alasannya?
Shalat
Jumat di jalan raya saya sebut bid’ah besar karena pada zaman Nabi
Muhammad, Sahabat dan tabi’in (murid para sahabat) tak melakukan shalat
di jalan raya. Ada pihak yang memakai alasan fikih untuk membenarkan
tindakan itu. Katanya shalat Jumat di masjid tak muat, lalu meluber
sampai jalan. Meluber apa? Wong jemaahnya didatangkan dari berbagai
daerah.
Dengan pemikiran-pemikiran Anda, apakah Anda bersedia bila diminta menjadi saksi ahli kasus penistaan agama Ahok?
Saya
tak akan bersedia karena bukan warga Jakarta. Cari orang Jakarta saja.
Masalah itu berawal dari urusan pemilihan kepala daerah, kok mengajak
orang Rembang.
Politikus sering menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan sesuatu. Itu yang membuat saya tidak suka
politik. Lebih ngeri karena mereka juga memanipulasi agama sebagai satu
cara mencapai tujuan.
Mengapa belakangan ini negara menjadi gaduh, terutama menyangkut isu agama?
Ada
yang mau mengacaukan. Kita tak paham sedang diadu domba. Kita harus
menolak apa pun alasannya, jangan ditoleransi karena sangat berbahaya.
Kalau yang membenturkan adalah orang asing, saya bisa memaklumi.
Tapi, kalau sesama orang Indonesia yang membenturkan, bagi saya musykil sekali. Saya punya pengalaman ketika foto saya dipasang berhadap-hadapan dengan Rizieq Syhihab. Enggak imbang karena jemaah saya lebih banyak, jumlahnya jutaan orang, ha…ha…
Jadi pengadu domba itu tidak paham sejarah kemajemukan Indonesia?
Pendiri
bangsa ini dengan susah-payah melakukan rembukan yang intens agar
masyarakat yang beragam ini bisa hidup dengan baik. Tapi orang yang
datang belakangan tidak mempelajari sejarah, lalu merasa seolah-olah
bukan orang Indonesia.
Maka, selalu saya katakan kita ini orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan di Indonesia. Banyak kiai pesantren yang tak tahu arti nasionalisme tapi mereka mencintai Indonesia karena alasan sederhana: Indonesia rumah kita.
Di sinilah kita hidup, sujud, dan akan dikebumikan. Seperti perjuangan Mbah Hasyim Asy’ari: Indonesia diperjuangkan satu tarikan napas dengan Islam. Orang yang menghancurkana rumahnya sendiri itu gendeng, nggak bisa diterima nalar.
Jika terus dibiarkan, apakah konflik di Indonesia bisa meledak seperti di Timur Tengah?
Konflik
di Timur Tengah itu karena materi. Bila Timur Tengah tak ada minyak,
tak akan bergolak. Irak, Libya, Suriah sudah hancur karena mereka tak
waspada.
Nah, Indonesia tak hanya punya minyak, tapi ada emas dan macam-macam. Kalau kita tidak waspada, orang lain yang akan menguras kekayaan kita dan perlahan hancur.
Beberapa kelompok mengklaim tindak kekerasan tersebut bagian dari dakwah. Bagaimana model dakwah yang tepat?
Dakwah itu artinya mengajak. Beda dengan amar makruf yang artinya perintah, nahi mungkar yang bermakna melarang.
Tapi,
saat ini, ketiganya selalu dicampur-adukkan. Kalau dalam dakwah
diperlukan debat atau bantahan, pakailah cara yang lebih baik dan
argumen yang bagus.
Anda kerap mengkritik Majelis Ulama Indonesia. Apa alasannya?
Orang
sudah lupa pada sejarah MUI. Dulu Presiden Soeharto ingin mengontrol
organisasi dengan meleburnya menjadi satu. Kepemudaan disatukan menjadi
Komite Nasional Pemuda Indonesaia, wartawan menjadi Persatuan Wartawan
Indonesia, partai-partai Islam dilebur menjadi Partai Persatuan
Pembangunan.
Organisasi keagamaan Islam
disatukan menjadi MUI. Tapi, dalam perkembangannya, MUI menyaingi
kementerian Agama. Mereka berhak membuat label halal yang jadi domain
pemerintah. MUI ini bagian dari pemerintah atau bukan, kok bisa
bertindak seperti itu?
Apa akar permasalahan di MUI?
Bagaimana
sistem rekrutmen pengurus? Siapa yang bisa memasukkan seseorang menjadi
pengurus? Bila majelisnya adalah ulama, mengapa yang melantik mereka
adalah umara (pemerintah)? Apakah umara lebih tinggi dibanding ulama?
Statusnya tidak jelas.
Bila saya berkata
demikian, orang bisa marah. Alasannya, masyarakat terlanjur menganggap
MUI sebagai wakil agama Islam di Indonesia. Sementera itu, di Google
tertulis MUI sebagai lembaga swadaya masyarakat.
Bagaimana Anda memandang pengurus MUI sekarang?
Banyak
orang yang pensiun lalu masuk MUI. Malah sekarang ada orang-orang
baru, yang makin tidak jelas. Orang mau jadi pegawai saja harus punya
ijazah, apalagi menjadi anggota MUI, yang memberi fatwa ke rakyat
Indonesia.
Jika ingin berdiri sebagai lembaga
fatwa, harus diatur betul siapa saja yang boleh masuk MUI. Kok, tak
dilihat dulu calon ini sekolah di mana, paham Al-Qur’an atau tidak,
paham ilmu tafsir dan hadis atau tidak.
Berkembang gerakan pengawal fatwa MUI. Sejauh mana umat Islam wajib mengikuti fatwa?
Fatwa
dikeluarkan mufti yang punya kriteria jelas, tapi tak mengikat. Orang
yang bertanya tentang suatu persoalan kepada mufti pun tidak harus
mengikutinya, karena bisa berbeda antara mufti A dan B.
Berbeda
dengan keputusan qadi (hakim agama), yang mengikat. Sedangkan fatwa MUI
kriterianya longgar sekali. Belakangan, ada pengawalan fatwa agar bisa
diikuti. Fatwa kok dikawal. Dasarnya dari kitab apa? La ilaha illallah.
Apa solusi yang Anda tawarkan?
Rekrutmen
anggota MUI harus jelas. Sekarang yang jelas cuman Ma’ruf Amin, Rais Am
PBNU 2015-2020. Dulu ada almarhum Kiai Sahal Mahfudz. Selain itu,
status lembaga harus jelas.
Apakah dia bagian
dari kementerian atau mitra kerja. Dua bulan lalu berpolemik soal label
halal dengan kementerian Agama. Perkara begitu saja kenapa kok rebutan?
Saat ini kita menghadapi maraknya hoax. Bagaimana cara membendungnya?
Kita
harus hati-hati menyerap informasi, jangan asal membaginya. Kita
perlutabayyun, mengkonfirmasi dan menelusuri rekam jejak sumber
informasi. Kalau tidak jelas siapa sumbernya, buang saja.
Pemerintah
juga harus tegas dan menganggap hoax sebagai masalah serius, khususnya
isu yang membuat gaduh. Di lain sisi, kita bisa mendapatkan manfaat luar
biasa dari media sosial bila kita pandai memanfaatkannya.
Termasuk berdakwa lewat media sosial?
Ya.
Dakwah di medsos bisa menjadi pembanding ajakan yang akhlakul karimah,
menebarkan ukhuwah Islamiyah, wathoniah, dan basyariah-persaudaraan
Islam, bangsa, dan umat manusia. Akun yang baik bisa menyaingi
pesan-pesan kemungkaran, yang suka menebarkan fitnah dan provokasi.
Apakah para kiai dan pondok pesantren siap berdakwah di dunia maya?
Saya
lihat kalangan pesantren sudah bergerak. Sekarang banyak website dari
berbagai pondok. Banyak tokoh persantren aktif di media sosial, seperti
Gus Solah (Salahuddin Wahid) di Jombang dan Habib Lutfi bin Yahya di
Pekalongan.
Cuma, memang masih kalah
dibanding orang-orang di kota-kota yang lebih dulu menggunakan
internet. Pesantren itu umumnya di desa, yang dulu memencilkan diri dari
Belanda. Karena itu, mereka harus ngebut di era medsos.
November lalu, netizen Pandu Wijaya menghina Anda lewat Twitter dan Anda memaafkannya. Apa yang Anda katakan padanya?
Dia datang bersama ibunya karena takut kualat. Saya bilang: jangan takut karena saya tak malati (menyebabkan kualat). Saya ingin tahu saja, kenapa Anda mencaci saya, apakah ada perkataan atau perilaku saya yang menyakiti Anda.
Dia datang bersama ibunya karena takut kualat. Saya bilang: jangan takut karena saya tak malati (menyebabkan kualat). Saya ingin tahu saja, kenapa Anda mencaci saya, apakah ada perkataan atau perilaku saya yang menyakiti Anda.
Pemuda ini hanya menangis dan
ternyata stres karena pekerjaan. Saya itu sederhana sekali, bila ada
orang tak setuju dengan sikap atau pemikiran saya, silakan
berargumentasi. Bila argumennya lebih kuat, saya akan membuang pendapat
saya.
Mengapa masyarakat kini mudah sekali tersulut emosinya?
Media
sosial telah mengubah seseorang menjadi berbeda dengan aslinya. Sejak
kasus Pandu Wijaya, ada lima orang yang datang ke rumah karena cacian di
media sosial.
Mereka mengatakan tak ada
persoalan dengan topik di akun saya. Kesimpulannya, media sosial membuat
orang menjadi pribadi yang lain.
Aktivitas Anda sangat padat. Kapan Anda meluangkan waktu untuk men-twit?
Saya
punya waktu luang biasanya Kamis malam setiap pekan. Itu kesempatan
saya men-twit. Ada juga twit Jumat yang dikirim setelah subuh, sebelum
mengaji. Saya juga rutin mengirim ke anak-anak dan para menantu pesan
yang namanya “Jumat Call”.
Apa saja topiknya?
Soal
akhlak. Tak seperti dulu yang bernada kritik sosial. Saya hanya
memberikan ungkapan-ungkapan untuk mengingatkan orang. Tapi sebetulnya
kritik sosial itu bermula dari akhlak juga.
Apakah twit membuat Anda jarang menulis?
Karena
saya semakin tua. Memang sudah tidak produktif. Saya hanya menulis
kalau diminta. Itu pun belum tentu saya sanggupi. Kalau menulis semau
saya, ya, di Twitter dan Facebook.
Anda masih tampak bugar pada usia 72 tahun. Apa rahasianya?
Saya
ini korban pencitraan. Dikiranya masih muda, padahal udah tua. Saya
sering kerokan sesudah pulang dari perjalanan luar kota.
TEMPO
http://jurnalindonesia.id/gus-mus-fatwa-kok-dikawal-dasarnya-dari-kitab-apa/